Tumbuh di Tanah Subur, Mati di Tangan Sistem: Nasib Tragis Kol Mamasa

ktnasulbar.com, Opini – Di dataran tinggi Mamasa, tempat kabut memilih turun lebih cepat daripada matahari tenggelam, petani-petani kol tengah menghadapi musim yang berbeda dari biasanya.
Ladang-ladang yang beberapa bulan lalu memberi harapan, kini dipenuhi tumpukan kol yang belum tentu akan berakhir di pasar.
Musim panen kali ini di dataran tinggi Mamasa bukan sekadar soal hasil, melainkan soal kepastian. Dan kepastian itulah yang kini paling langka.
Panen kol maupun sayuran lainnya di Mamasa selalu menjadi momen penting dalam siklus pertanian tahunan.
Dengan udara sejuk dan tanah subur, menjadikan kawasan ini terkenal sebagai salah satu wilayah unggulan penghasil sayuran, terutama kol, wortel dan kentang di Sulawesi Barat.
Namun, meski hasil panen tetap melimpah, masalah klasik kembali muncul: tidak ada pasar yang memberikan jaminan.
Tanaman kol yang semula tumbuh subur dan menjanjikan kini justru menjadi sumber kekhawatiran.
Para petani menatap hasil kerja keras mereka dengan rasa bangga yang bercampur cemas. Kol-kol yang meng-hijau sempurna dan menyegarkan itu kini menumpuk di pondok-pondok kecil di tepi ladang, menunggu untuk dibeli.
Tetapi siapa yang akan membeli, berapa harga dan kapan pembeli itu datang, adalah pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Di Mamasa, petani masih menggantungkan pola distribusi hasil taninya pada sistem pengepul atau tengkulak.
Para petani biasanya menanam berdasarkan pengalaman dan permintaan musim-musim sebelumnya.
Ketika waktu panen tiba, mereka mengharapkan ada pengepul yang akan datang dari Polewali, Majene, atau Makassar untuk membeli hasil panen mereka dalam jumlah besar.
Namun musim ini, pola itu tampaknya tak berjalan seperti biasanya.
Hasil panen yang melimpah justru menjadi bumerang ketika permintaan tidak sebanding.
Belum lagi, di beberapa daerah lain yang juga merupakan sentra kol seperti Enrekang atau Tana Toraja, panen terjadi hampir bersamaan.
Situasi ini menyebabkan banjir pasokan di pasar, dan harga pun anjlok. Tak ada pihak yang mampu mengontrol atau mengatur pasar yang jelas, dan kembali petani menjadi pihak yang paling rentan dirugikan.
Harga kol yang biasanya bisa menutupi ongkos produksi dan menyisakan sedikit keuntungan kini terjun bebas.
Di beberapa titik, harga di tingkat petani bahkan tidak menutupi biaya angkut menuju pasar kabupaten.
Akibatnya, banyak petani memilih untuk menahan penjualan, berharap harga akan naik.
Namun dalam dunia pertanian, waktu bukanlah sekutu. Kol yang dibiarkan terlalu lama di ladang akan cepat membusuk. Menunda bukan solusi yang aman.
Lebih jauh dari persoalan harga, situasi ini memperlihatkan celah besar dalam sistem pertanian di Mamasa.
Tidak adanya infrastruktur penyimpanan hasil panen, tidak tersedianya sistem distribusi yang efisien, serta ketergantungan tinggi terhadap pasar luar daerah menjadikan petani dalam posisi yang lemah.
Mereka tidak memiliki daya tawar. Mereka bekerja keras menanam, memupuk, dan merawat, namun tak punya kontrol atas ke mana dan dengan harga berapa hasil mereka dijual.
Di tengah kondisi ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun sistem yang lebih berkeadilan bagi petani.
Salah satu solusi jangka menengah yang sering disebut adalah membentuk koperasi tani yang kuat.
Dengan koperasi, petani bisa menyimpan hasil panen secara kolektif, menjual dalam skala besar langsung ke konsumen akhir, dan bahkan menentukan harga secara bersama-sama.
Namun mewujudkan koperasi yang efektif bukan perkara mudah, apalagi di tengah budaya pertanian tradisional yang lebih mengedepankan kerja individual atau keluarga.
Selain koperasi, pembangunan infrastruktur penunjang seperti gudang pendingin, akses jalan tani, dan transportasi murah juga menjadi kebutuhan mendesak.
Saat ini, banyak daerah produksi sayur di dataran tinggi Mamasa yang masih sulit dijangkau kendaraan besar.
Ketergantungan pada kendaraan sewaan dari luar daerah menambah beban biaya bagi petani.
Situasi ini membuat harga komoditas dari Mamasa tidak kompetitif dibandingkan dengan produk serupa dari daerah yang infrastrukturnya lebih baik.
Digitalisasi pertanian, yang menjadi tren di berbagai daerah lain di Indonesia, juga belum menyentuh Mamasa secara signifikan.
Minimnya akses internet di desa-desa terpencil membuat petani sulit memanfaatkan platform online untuk menjual produk mereka.
Padahal, dengan sistem digital, petani bisa menjual langsung ke pasar-pasar kota atau bahkan ke konsumen rumah tangga dengan margin lebih baik.
Harapan terhadap peran pemerintah dalam mengatasi persoalan ini pun terus menggema.
Namun hingga kini, belum terlihat langkah sistematis dan terstruktur untuk membangun rantai distribusi hasil pertanian yang berpihak pada petani.
Program-program bantuan yang bersifat insidental tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Musim panen kol di Mamasa seharusnya menjadi pesta hasil kerja keras. Namun yang terjadi justru pertunjukan orkestra yang menyajikan simfoni elegi.
Para petani bangun pagi, berjalan ke ladang, memeriksa kol-kol mereka, lalu kembali dengan raut muram karena belum juga berhasil menemui pembeli.
Hasil panen yang semestinya menjadi sumber kebahagiaan berubah menjadi beban mental dan ekonomi.
Di tengah lanskap hijau yang membentang dan awan yang menggantung rendah di pegunungan Mamasa, para petani kol kini berdiri di persimpangan.
Mereka tidak hanya menunggu pembeli, tetapi juga menunggu perhatian, sistem, dan keberpihakan.
Mereka tidak minta dimanjakan, hanya ingin hasil jerih payah mereka dihargai secara adil.
Musim akan terus berganti, ladang akan terus ditanami, dan kol akan kembali tumbuh.
Namun jika sistem yang ada tidak berubah, maka harap-cemas akan terus menjadi bagian dari setiap musim panen sayur di dataran tinggi Mamasa ini.
Dan petani, yang mestinya menjadi tulang punggung ketahanan pangan, akan terus berdiri di pinggir, menunggu nasib yang ditentukan oleh orang lain.
(Penulis opini: Bang Zul)